Beranda | Artikel
Bulughul Maram - Shalat: Problem Shalat Qabliyah Shubuh dan Shalat Bada Ashar
Jumat, 5 April 2019

Ada masalah (problem) mengenai shalat ketika masuk fajar Shubuh apakah hanya dibatasi dengan shalat sunnah Fajar dua rakaat ataukah boleh lebih? Lalu mengenai shalat sunnah bada Ashar sebagian hadits menyatakan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukannya, bagaimana dengan hal ini?

 

Hadits #172

 

وَعَنْ أَبِي مَحْذُورَةَ – رضي الله عنه – أَنَّ اَلنَّبِيَّ – صلى الله عليه وسلم – قَالَ: – أَوَّلُ اَلْوَقْتِ رِضْوَانُ اَللَّهُ, وَأَوْسَطُهُ رَحْمَةُ اَللَّهِ; وَآخِرُهُ عَفْوُ اَللَّهِ – أَخْرَجَهُ اَلدَّارَقُطْنِيُّ بِسَنَدٍ ضَعِيفٍ جِدًّا

Dari Abu Mahzhurah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Awal waktu itu adalah ridha Allah, pertengahannya adalah rahmat Allah, akhirnya adalah ampunan Allah.” (HR. Ad-Daruquthni dengan sanad dhaif jiddan) [HR. Ad-Daruquthni, 1:249]

 

* Abu Mahzhurah adalah Aus bin Mi’yar Al-Qurasyi Al-Jamhi. Dia adalah muazin Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di Makkah. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan kepadanya azan karena suaranya yang begitu mengagumkan. Beliau tidak ikut berhijrah ke Madinah. Beliau meninggal dunia pada tahun 59 Hijriyah, ada pula yang berpendapat 79 Hijriyah. Lihat Minhah Al-‘Allam, 2:223.

 

Hadits #173

 

وَلِلتِّرْمِذِيِّ مِنْ حَدِيثِ اِبْنِ عُمَرَ نَحْوُهُ, دُونَ اَلْأَوْسَطِ, وَهُوَ ضَعِيفٌ أَيْضًا

Dalam riwayat Tirmidzi dari hadits Ibnu ‘Umar dan selainnya, tanpa menyebutkan “pertengahannya”, riwayat ini juga dhaif. [HR. Tirmidzi, no. 172]

Takhrij Hadits

 

Sanad hadits ini dhaif jiddan sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Hajar Al-Asqalani karena di dalamnya ada Ibrahim bin Zakariya, ia adalah seorang perawi yang majhul. Abu Hatim mengatakan bahwa hadits ini diriwayatkan oleh perawi yang mungkar.

Adapun hadits dari Ibnu ‘Umar dikeluarkan oleh Tirmidzi (172), disebutkan dari Ibnu ‘Umar bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Waktu pertama adalah ridhwanullah (mendapatkan ridha Allah), waktu akhir adalah ‘afwullah (mendapatkan ampunan Allah).” Hadits ini telah didhaifkan oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar. Bahkan sebenarnya hadits ini mawdhu’ (diriwayatkan oleh pendusta) karena di dalamnya ada Ya’qub bin Al-Walid, ia adalah seorang pendusta, seorang perawi mawdhu’, itulah cacatnya.

 

Faedah Hadits

 

  1. Dua hadits di atas menunjukkan keutamaan shalat pada awal waktu dengan mengharap ridha Allah. Shalat pada awal waktu tentu lebih utama daripada pertengahan, daripada akhir waktu. Jika tidak bisa menunaikan pada awal waktu, kerjakanlah pada pertengahan waktu untuk mendapatkan rahmat Allah.
  2. Ridha Allah (ridhwanullah) lebih utama dan berapa di tingkatan tertinggi daripada rahmat dan ampunan Allah.
  3. Menunaikan shalat pada akhir waktu menunjukkan sifat malas dan berat dalam ketaatan.
  4. Siapa yang butuh mengerjakan shalat pada akhir waktu, ia mendapatkan ampunan atas dosa dan kelalaiannya.
  5. Sudah ada hadits shahih yang disebutkan sebelumnya yang menunjukkan keutamaan shalat pada awal waktu.

 

Hadits #174

 

وَعَنْ اِبْنِ عُمَرَ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا أَنَّ رَسُولَ اَللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – قَالَ: – لَا صَلَاةَ بَعْدَ اَلْفَجْرِ إِلَّا سَجْدَتَيْنِ – أَخْرَجَهُ اَلْخَمْسَةُ, إِلَّا النَّسَائِيُّ

وَفِي رِوَايَةِ عَبْدِ اَلرَّزَّاقِ: – لَا صَلَاةَ بَعْدَ طُلُوعِ اَلْفَجْرِ إِلَّا رَكْعَتَيْ اَلْفَجْرِ –

Dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak ada shalat setelah Fajar kecuali dua kali sujud (maksudnya: dua rakaat).” (Hadits dikeluarkan oleh yang lima kecuali An-Nasai) [HR. Abu Daud, no. 1278; Tirmidzi, no. 419; Ibnu Majah, no. 235; Ahmad, 8:376. Hadits ini dhaif karena adanya Muhammad bin Al-Hushain yang dinilai bermasalah]

Dalam riwayat ‘Abdur Razzaq, ia berkata, “Tidak ada shalat setelah terbit Fajar Shubuh selain dua rakaat Fajar.” [Hadits ini ada perawi yang bernama Abu Bakar bin Muhammad, ia adalah guru dari ‘Abdur Razaq, disandarkan pada kakeknya. Kalau tidak, ia adalah Abu Bakar bin ‘Abdullah bin Muhammad bin Abi Sabrah, ia dhaif jiddan]

 

Hadits #175

 

وَمِثْلُهُ لِلدَّارَقُطْنِيّ عَنْ اِبْنِ عَمْرِوِ بْنِ اَلْعَاصِ

Dan semisalnya dari Ad-Daruquthni, dari Ibnu ‘Amr bin Al-‘Ash. [Sanad hadits ini dhaif, Al-Baihaqi mengatakan bahwa hadits ini sanadnya ada perawi yang tidak dijadikan hujjah yaitu ‘Abdurrahman bin Ziyad bin An’am Al-Afriqi. Tirmidzi mengatakan bahwa ia adalah perawi yang dhaif, didhaifkan oleh Yahya bin Sa’id Al-Qaththan dan selainnya. Imam Ahmad juga mengatakan bahwa beliau tidak menulis hadits dari Al-‘Afriqi]

 

Faedah Hadits

 

  1. Hadits ini dijadikan dalil bahwa setelah terbit fajar Shubuh hanya boleh mengerjakan shalat sunnah dua rakaat qabliyah Shubuh, terlarang lebih dari itu. Imam Tirmidzi mengatakan bahwa para ulama sepakat mengenai dilarangnya shalat setelah terbit fajar selain dua rakaat fajar. Larangan shalat sunnah setelah masuk Shubuh selain shalat sunnah Fajar dua rakaat menjadi pendapat jumhur ulama (mayoritas ulama).
  2. Sebagian ulama berdalil masih boleh menambah lebih dari dua rakaat shalat sunnah Fajar. Hal ini berdasarkan hadits dari ‘Amr bin ‘Abasah, ia berkata, “Wahai Rasulullah, malam apa yang paling didengar doanya?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Doa di pertengahan malam terakhir, maka lakukanlah shalat sesukamu karena shalat ketika itu disaksikan oleh malaikat hingga engkau menjalankan shalat Shubuh.” (HR. Abu Daud, no. 1277)
  3. Imam Nawawi dan ulama Syafi’iyah berpendapat bahwa boleh menambahkan lebih daripada dua rakaat shalat sunnah Fajar. Lihat penjelasan dalam Syarh Shahih Muslim karya Imam Nawawi.
  4. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berpendapat bahwa larangan shalat sunnah lebih dari dua rakaat tadi bukanlah larangan haram. Dibolehkan mengerjakan lebih dari dua rakaat selama tidak dijadikan kebiasaan.

 

Hadits #176

 

وَعَنْ أَمْ سَلَمَةَ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ: – صَلَّى رَسُولُ اَللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – اَلْعَصْرَ, ثُمَّ دَخَلَ بَيْتِي, فَصَلَّى رَكْعَتَيْنِ, فَسَأَلْتُهُ, فَقَالَ: “شُغِلْتُ عَنْ رَكْعَتَيْنِ بَعْدَ اَلظُّهْرِ, فَصَلَّيْتُهُمَا اَلْآنَ”, قُلْتُ: أَفَنَقْضِيهِمَا إِذَا فَاتَتْنَا? قَالَ: “لَا” – أَخْرَجَهُ أَحْمَدُ

Dari Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha, ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat Ashar kemudia beliau masuk rumahku, kemudian beliau melaksanakan shalat dua rakaat. Aku bertanya pada beliau kenapa beliau melakukan hal itu.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Aku tersibukkan sehingga luput dari shalat dua rakaat badiyah Zhuhur, maka sekarang aku melakukannya.” Aku berkata, “Apa kami perlu mengqadha’nya ketika kami luput dari dua rakaat tersebut?” Jawab beliau, “Tidak.” Dikeluarkan oleh Ahmad. [HR. Ahmad, 33:276-277; Ibnu Hibban, 6:377. Tambahan “Apa kami perlu mengqadha’nya ketika kami luput dari dua rakaat tersebut …, tidak shahih]

 

Hadits #177

 

وَلِأَبِي دَاوُدَ عَنْ عَائِشَةَ بِمَعْنَاهُ

Diriwayatkan pula oleh Abu Daud, dari Aisyah dengan makna semisal itu. [Hadits ini dhaif karena sebab perawi mudallis yang hanya menggunakan lafazh ‘an’anah]

 

Faedah Hadits

 

Boleh mengqadha shalat sunnah rawatib Zhuhur pada badiyah Ashar, namun ini hanya jadi kekhususan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Namun tambahan itu kekhususan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah shahih.

 

Mengenai Shalat Sunnah Badiyah Ashar

 

Para ulama yang duduk di Al-Lajnah Ad-Daimah li Al-Buhuts Al-‘Ilmiyyah wa Al-Ifta’ (Komisi Fatwa Kerajaan Saudi Arabia) pernah ditanya tentang hadits-hadits yang menunjukkan adanya shalat badiyah ‘Ashar, mereka lantas menjawab,

“Tidak boleh shalat sunnah setelah ‘Ashar karena ketika itu waktu terlarang untuk shalat. Adapun yang dilakukan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dari hadits-hadits yang disebutkan adalah untuk mengqadha shalat rawatib Zhuhur yang luput dikerjakan. Adapun Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam merutinkannya terus menerus dikarenakan jika beliau telah melakukan suatu amalan, maka beliau akan merutinkannya, ini adalah kekhususan bagi beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. Akan tetapi masih boleh melakukan shalat yang punya sebab setelah ‘Ashar, seperti shalat tahiyatul masjid, shalat kusuf (gerhana), shalat dua rakaat thawaf setelah ‘Ashar maupun setelah Shubuh, juga shalat jenazah karena ada hadits tentang hal ini.” (Fatwa Al-Lajnah Ad-Daimah, pertanyaan pertama dari fatwa no. 19518, 6: 174. Fatwa ini ditandatangani oleh Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz selaku ketua, Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah Alu Syaikh selaku wakil ketua dan Syaikh Bakr Abu Zaid selaku anggota)

Berarti shalat sunnah setelah ‘Ashar asalnya tidak ada karena masih waktu terlarang untuk shalat, kecuali tiga sebab:

  • Khusus untuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
  • Mengqadha’ shalat sunnah rawatib Zhuhur.
  • Mengerjakan shalat sunnah yang punya sebab seperti shalat tahiyatul masjid dan shalat sunnah wudhu.

 

Disusun di Wonosari, 1 Syaban 1440 H (5 April 2019, Malam Sabtu)

Oleh: Muhammad Abduh Tuasikal

Artikel Rumaysho.Com


Artikel asli: https://rumaysho.com/20145-bulughul-maram-shalat-problem-shalat-qabliyah-shubuh-dan-shalat-bada-ashar.html